Pendidikan dan Pembangunan Berkelanjutan
Armindo Maia, Rektor, Universitas Timor
Lorosa’e
Presentasi ini mungkin lebih cocok bila berjudul “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan”, mengikuti model yang dikembangkan John Fien (2000). Akan tetapi lebih baik tetap terbuka, memberi kesempatan kepada ahli teori, akademis, dan pendidik yang bekerja di bidang pembangunan berkelanjutan, untuk mengembangkan suatu model pendidikan lingkungan hidup yang cocok untuk Timor Lorosa’e, baik untuk tujuan kurikuler, maupun untuk tujuan non-kurikuler.
Sebagai seorang akademis, saya tahu bahwa saya diharapkan memberi presentasi yang sangat bersifat akademis, dan berpengaruh besar dalam dunia pembangunan berkelanjutan. Saya harap saya tidak membuat peserta di sini kecewa bila mereka mengharapkan demikian. Sebetulnya, saya tidak mempunyai latar belakang di bidang pembangunan berkelanjutan, atau keahlian di bidang pembangunan berkelanjutan, bahkan saya tidak ikut serta dalam kegiatan apapun yang berhubungan dengan bidang pembangunan berkelanjutan. Pelajaran sedikit mengenai Sumber Daya Alam dan Ekonomi Lingkungan Hidup sekitar kira-kira sepuluh tahun yang lalu tidak berguna untuk konferensi ini. Maka di konferensi ini saya akan memantau saja, dan tentu saja saya akan mempelajari masalah pembangunan berkelanjutan secara lebih empiris dan bersifat teori.
Presentasi ini dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama akan membahas konsep-konsep utama seperti pembangunan berkelanjutan, pendidikan lingkungan hidup, dan tujuan-tujuan pendidikan lingkungan hidup. Bagian kedua adalah tentang masalah keperluan pendidikan lingkungan hidup di Timor Lorosa’e. Terakhir, saya akan memfokuskan pembicaraan pada masalah memasukkan pendidikan lingkungan hidup di dalam kurikulum sekolah, dari tingkat SD sampai tingkat universitas, maupun pendidikan lingkungan hidup di tingkat pendidikan informal.
Beberapa definisi Pembangunan Berkelanjutan sudah diusulkan dan dikembangkan ahli-ahli pembangunan berkelanjutan, sebagian dari definisi-definisi tersebut mengutamakan hal-hal tertentu, sedangkan definisi-definisi lain mengutamakan hal-hal yang lain. Untuk maksud presentasi ini, saya memilih definisi John Fien (2000) sebagai bahan pembahasan, yang memfokuskan pada lingkungan hidup: “Lingkungan hidup yang berkelanjutan adalah lingkungan hidup di mana lingkungan alami, pembangunan ekonomi, dan kehidupan sosial, dianggap saling berkaitan, dan hubungan di antaranya menyebabkan peningkatan kualitas hidup dan sifat berkelanjutan masyarakat dan lingkungan hidup”.
“Pendidikan Lingkungan Hidup” berarti “pendekatan proses pelajaran yang membantu individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk memahami konsep pembangunan berkelanjutan”. Pendekatan tersebut harus meliputi semua aspek kurikulum pendidikan. Tujuan pengertian mengenai pembangunan berkelanjutan adalah supaya “kalangan muda mengembangkan sikap kepedulian dan berkomitmen, dan mempunyai keinginan untuk bertanggungjawab pada lingkungan hidup dan terhadap orang lain”.
Kemudian, kita sampai di tujuan Pendidikan Lingkungan Hidup yang artinya: “Penciptaan lingkungan yang berkelanjutan, di mana masyarakat dapat hidup dan bekerja” tidak hanya untuk generasi kini, tetapi juga untuk generasi di masa depan.
Konsep-konsep yang penting di bidang pendidikan lingkungan hidup termasuk: sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui, sumber alam yang dapat diperbarui, dan sistem lingkungan hidup yang terdiri dari empat bagian: politik, sosial, ekonomi, dan biofisika. Sketsa R.O. Donoghue (Bagan 1, di bawah) yang terkenal mengenai empat sistem lingkungan hidup menunjukkan keterkaitan antaranya, dan sistemnya sebetulnya adalah “tertutup”, bergerak di satu lingkaran.
Bagan 1. Empat Sistem Lingkungan Hidup
R. O’Donoghue, Sumber J. Fein 2000
Banyak orang, termasuk peneliti, akedemikus, pemantau dan para politisi, sudah mennyatakan keprihatinannya atas tingkat kerusakan lingkungan hidup yang mengerikan di Timor Lorosa’e pada tiga puluh tahun terakhir ini. Banyak dari ahli-ahli tersebut sudah menjelaskan penyebab-penyebab kerusakan demikian, termasuk faktor ekonomi, budaya dan pendidikan. Saya akan memfokuskan pada aspek budaya dan pendidikan sekarang, dan membiarkan orang lain membicarakan masalah ekonomi.
Terhadap masalah budaya, saya akan membaginya menjadi dua sikap utama- positif dan negatif- yang masih terlihat di mana-mana di negara ini, dengan perbedaan-perbedaan di daerah perkotaan. Sikap positif terhadap lingkungan hidup di masyarakat tradisional berakar pada kepercayaannya pada “Lulik”, serta terbentuk oleh interaksi sosial dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi. “Lulik”, seperti sudah dijelaskan dalam konferensi ini, menganggap unsur-unsur alami dan buatan manusia suci. “Lulik” menganggap pohon-pohon tua dan besar, batu, mata air, binatang, dan gunung, suci. Oleh karena itu, perusakan unsur-unsur tersebut oleh manusia dilarang. Maka pandangan demikian sangat menguntungkan pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Kebiasaan seperti menaman pohon di batas kepemilikan tanah (tanah masyarakat atau tanah individu) merupakan kebiasaan yang terjadi di mana-mana di Timor Loroasa’e. Kebiasaan yang sama juga dapat dilihat di setiap mata air, khususnya di daerah pedesaan, di mana pohon palma macam kelapa dan sirih merupakan jenis pohon utama, di samping pohon beringin yang sangat besar.
Sayangnya, kepercayaan dan kebiasaan tersebut secara pelan-pelan menghilang, dengan masuknya peradaban dan “pendidikan” ke daerah pedalaman.
Di sisi lain, beberapa kebiasaan sosial dan budaya yang hanya bersifat negatif terhadap lingkungan hidup, harus ditangani secepat mungkin. Kebiasaan-Kebiasaan tersebut termasuk: kebiasaan pertanian “tambang/bakar”, pertanian berpindah, pertambahan urbanisasi, penebangan pohon untuk kayu bakar, dan pembakaran hutan untuk mencari binatang. Faktor budaya lain yang perlu diubah termasuk kebiasaan membangun rumah di lereng gunung atau di atas bukit, diikuti oleh pembersihan tanah untuk ladang-ladang di lereng gunung, yang menyebabkan erosi dan degredasi tanah.
Tidak dapat diabaikan bahwa setiap orang Timor Lorosa’e merasa ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan lingkungan hidup. Tidak dapat diabaikan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan resmi, dianggap salah satu cara yang paling berguna untuk mencapai tujuan tersebut. Orang muda belajar dengan cepat dan mudah dan dapat dengan mudah menanamkan sikap kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi bagian dari nilai-nilainya. Masalah-masalah lingkungan hidup tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan pemerintahan Portugis dan Indonesia di Timor Lorosa’e pada masa lalu. Kurikulum SMP/SMA pada waktu pemerintahan Indonesia termasuk sedikit pelajaran yang disebut “muatan lokal”. Akan tetapi, mengingat kekurangan pengetahuan dan ketrampilan guru-guru di bidang lingkungan hidup pada waktu itu, akhirnya pelajaran tersebut menjadi suatu kegiatan yang disebut “kegiatan reboisasi” dengan hasil-hasil yang meragukan.
Selama masa transisi ini, “kurikulum transisi” sudah diterapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendidikan, sementara usaha-usaha untuk mengembangkan kurikulum nasional sudah dimulai. Saya menyarankan dengan tegas bahwa pendidikan lingkungan hidup harusnya dimasukkan secara pelan-pelan ke dalam kurikulum sekolah, dari tingkat SD setidak-tidaknya sampai tingkat SMP/SMA. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada keperluan untuk kelompok guru yang berpengetahuan dan berketrampilan di bidang lingkungan hidup.
Fien J, (dilihat 10 Oktober 2000), Pendidikan yang Bersifat Berkelanjutan, UNEP, Pusat Pengembangan dan Pembaharuan Pendidikan Asia-Pasifik (UNESCO), Universitas Griffith, http://www.ens.gu.edu.au/ciree/lse/mod1.htm